COOPERATIVE LEARNING
A.
Pengertian Cooperative Learning
Cooperative learning berasal dari
kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu team. Istilah
cooperative learning dalam pengertian B.Indonesia dikenal dengan pembelajaran
kooperativeoxford dictionary (1992) mendefinisikan bahwa cooperative sebagai “
bersedia untuk membantu”. Cooperative juga berarti bekerja sama untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien.
Cooperative learning adalah salah
satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan
faham konstruktivis. Cooperative learning juga merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda (Isjoni : 2009 : 12).
Menurut Yatim Riyanto ( 2010 : 267 )
cooperative learning adalah model pembelajaran yang di rancang untuk
membelajarkan kecakapan akademik (academic skill), sekaligus keterampilan
sosial (social skill) termasuk interpersonal skill. Sedangkan Eveline Siregar
dan Hartini Nara (2011 : 114) cooperative learning merupakan salah satu
strategi yang dianjurkan sebagai cara siswa untuk saling berbagi pendapat,
berargumentasi dan mengembangkan berbagai alternative pandangan dalam upaya
kontruksi pengetahuan.
Cooperative learning adalah suatu
model pembelajaran yang pada saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan
kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama
untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang
tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli
pada yang lain.
Slavin (dalam Isjoni 2009)
menyebutkan bahwa cooperative learning merupakan model pembelajaran yang telah
dikenal sejak lama yang mana pada saat itu guru mendorong siswa untuk melakukan
kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran
dengan teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar
guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa
dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar
mengajar sesama mereka.
Pada masa sekarang masyarakat
pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih, berfikir,
memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang
pendekatan ini akan berjalan baik di kelas yang kemampuannya merata, namun
sebenarnya di kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan
pembelajaran cooperative ini. Karena dengan mencampurkan para siswa dengan
kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu
dan termotivasi. Demikian juga siswa yang lebih akan terasah kefahamannya.
Cooperative learning bukan bermaksud
untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam
kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan cooperative ini
adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi yakni hanya
sebagian siswa yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya tenggelam
dalam ketidaktahuannya. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang
sehat bila para murid menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu. Sikap mental
inilah yang dirasa perlu untuk mengalami perbaikan.
Dengan mempraktekkan cooperative
learning di ruang-ruang kelas, suatu hal kelak kita akan menuai buah
persahabatan dan perdamaian. Karena cooperative learning memandang siswa sebagi
makhluk sosial (homo hominisocius) bukan homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi sesamanya). Dengan kata lain cooperative learning adalah cara
belajar mengajar berbasiskan peace education (metode belajar mengajar masa
depan) yang pasti mendapat perhatian.
Djahiri K. (dalam Isjoni : 2009 :
19) menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok cooperative
yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentis, humanistik
dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan
belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran cooperative mampu membelajarkan
diri dan kehidupan siswa baik di kelas maupun di sekolah. Lingkungan belajarnya
juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus
memberikan hidup senyatanya.
Beberapa ciri dari cooperative
learning adalah :
a)
Setiap anggota memiliki peran
b)
Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa
c)
Setiap kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan
juga teman-teman kelompoknya.
d)
Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, dan
e)
Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Menurut
Yatim Riyanto (2010 : 226) ciri-ciri cooperative learning adalah :
a)
Kelompok dibentuk dengan siswa kemampuan tinggi, rendah,
sedang
b)
Siswa dalam kelompok sehidup semati
c)
Siswa melihat semua anggota melihat tujuan yang sama
d)
Membagi tugas dan tanggungjawab sama
e)
Akan dievaluasi untuk semua
f)
Berbagi kepemimpinan dan keterampilan untuk bekerja sama
g)
Diminta untuk mempertanggungjawabkan individual materi
yang ditangani.
Pelaksanaan
cooperative learning membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok
pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju
belajar lebih baik sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan
utama cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar scara
berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan
menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
B.
Tujuan Cooperative
Learning
Pelaksanaan
model cooperative learning membutuhkan partisipasi dan kerja sama dalam
kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar
siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku
sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative
learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama
teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat
mereka secara berkelompok.
Dengan
melaksanakan model pembelajaran cooperative learning, siswa memungkinkan dapat
meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk
memiliki keterampilan, baik keterampilan berfikir (thinking skill) maupun keterampilan
sosial (social skill), seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat,
menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan, dan
mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (stahl,
1994).
Model
pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan,
dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan
demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran, namun bisa juga
sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Pada
dasarnya model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai
setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum Ibrahim, (2000)
dalam Isjoni (2009 : 27), yaitu :
1.
Hasil Belajar Akademik
Dalam cooperative learning
meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau
tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini
unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model
ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan cooperative telah dapat
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Disamping mengubah norma yang berhubungan
dengan hasil belajar, cooperative learning dapat memberi keuntungan, baik pada
siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerjasama menyelesaikan
tugas-tugas akademik.
2.
Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Pembelajaran cooperative
memberikan peluang kepada siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk
bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperative akan saling menghargai satu sama lain.
3.
Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga
cooperative learning adalah mengajarkan kepada sisa keterampilan bekerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab
saat ini masih banyak anak muda kurang dalam keterampilan sosial.
C.
Teori Cooperative
Learning
Sebagai
model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan
menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif, cooperative learning
mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis. Davidson dan
Warshan (2003) mengemukakan, cooperative learning adalah kegiatan belajar
mengajar secara kelompok-kelompok kecil. Siswa belajar dan bekerja sama untuk
sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun
pengalaman kelompok. Karena itu, cooperative learning didasarkan kepada
teori-teori kognitif, perlakuan dan persandaran sosial.
Terdapat
berbagai teori dalam kita mempelajari cooperative learning. Tiga diantaranya
sebagaimana disbutkan berikut.
1.
Teori Ausubel
David Ausubel adalah
seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (1996) bahan pelajaran yang
dipelajari haruslah “bermakna” meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan
suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta,
komsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
siswa.
Misalnya dalam hal
pembelajaran sejarah, bukan hanya sekedar menekankan kepada pengertian
konsep-konsep sejarah belaka, tetapi bagaimana melaksanakan proses
pembelajarannya, dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran tersebut
sehingga pembelajaran tersebut menjadi benar-benar bermakna. Dengan demikian,
cooperative learning akan dapat mengusir rasa jenuh dn bosan.
2.
Teori Piaget
Menurut Piaget (dalam
Isjoni:2009:36), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual
sebagai berikut :
a.
Sensoni motor (0-2 tahun)
b.
Pra operasional (2-7 tahun)
c.
Operasional konkret (7-11 tahun)
d.
Operasional formal (11 tahun ke atas)
Bila merujuk pada teori
piaget, maka pelajar yang berada pada jenjang SMP (usia berkisar antara 12-14/15
tahun), termasuk dalam kategori tingkat operasional formal. Pada periode ini
anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi yang
lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini adalah ia tidak
perlu berpikir abstrak (Dahar, 1996), karena itu cooperative learning dapat
dilaksanakan di jenjang SMP.
3.
Teori Vygotsky
Vygotsky (1997)
mengemukakan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia
membedakan adanya dua pengertian yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian
spontan adalah pengertian yang didapatkan dan pengalaman anak sehari-hari.
Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari ruangan kelas, atau yang
diperoleh dan pelajaran di sekolah. Selanjutnya Suparno (1997) mengatakan kedua
konsep itu saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa di
sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan
sehari-hari dan sebaliknya.
Sumbangan dari teori
Vygotsky adalah penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran. Menurutnya
pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Zona
perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangan seseorang pada saat ini.
Ide penting lain yang
diturunkan Vygotsky adalah scaffolding,
yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk
mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan,
memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan pelajar tumbuh mandiri.
D.
Karakteristik Cooperative Learning
Bennet
(1995) menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan cooperative
learning dengan kerja kelompok, yaitu :
1.
Positive Interdependence
Hubungan timbal balik yang
didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok
dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau
sebaliknya. Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang struktur
dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap siswa untuk belajar,
mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan
memahami bahan pelajaran.
2.
Interaction face to face
Interaksi yang langsung
terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan
individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa yang
ditingkatkan oleh adanya saling hubungan timbal balik yang bersifat positif
sehingga dapat mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran.
3.
Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran
dalam anggota kelompok
Adanya tanggung jawab
pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa
termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning
adalah menjadikan setiap anggota kelompoknya menjadi lebih kuat pribadinya.
4.
Membutuhkan keluwesan
Menciptakan hubungan antar
pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang
efektif.
5.
Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan
masalah (proses kelompok)
Tujuan terpenting yang
diharapkan adalah siswa belajar keterampilan bekerja sama dan berhubungan ini
adalah keterampilan yang penting dan sangat diperlukan di masyarakat. Para
siswa mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kerjasama yang telah
dilakukan.
Dari
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa cooperative learning merupakan
strategi yang menempatkan siswa belajar anggota kelompok yang beranggotakan 4-6
siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang
berbeda.
Dengan
berkelompok siswa mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mempraktekkan sikap
dan perilaku berpartisipasi pada situasi sosial yang bermakna bagi mereka.
Dalam
cooperative learning tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau
peserta didik harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut
keterampilan kooperative.keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut
antara lain sebagai berikut (Lungdren, 1994, dalam Isjoni :2009 : 46) :
1.
Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
a)
Menggunakan kesepakatan
b)
Menghargai kontribusi
c)
Mengambil giliran dan berbagi tugas
d)
Berada dalam kelompok
e)
Berada dalam tugas
f)
Mendorong partisipasi
g)
Mengundang orang lain
h)
Menyelesaikan tugas dalam waktunya
i)
Menghormati perbedaan individu
2.
Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan
tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan
ketidak setujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif,
bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi
ketegangan.
3.
Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan
tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan
kebenaran, menetapkan tujuan dan berkompromi.
E.
Model-Model Cooperative Learning
1.
Student Team Achievement
Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan
Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adnya
aktifitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan
yaitu :
a.
Tahap penyajian materi
Yang
mana guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai pada hari
itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari.
b.
Tahap kegiatan kelompok
Pada
tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari.
Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan
penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas,
dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru
berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
c.
Tahap tes individual
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah
dicapai, diadakan tes secara individual, mengenai materi yang telah dibahas.
d.
Tahap penghitungan skor pengembangan individu
Tes ini dihitung berdasarkan skor awal, dalam penelitian
ini didasarkan pada nilai evaluasi hasil belajar semester I.
e.
Tahap pemberian penghargaan kelompok
(Slavin, 1995) perhitungan skor kelompok dilakukan dengan
cara menjumlahkan masing-masing perkembangan skor individu dan hasilnya dibagi
sesuai jumlah anggota kelompok.
2. Jigsaw
Pembelajaran
kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat
tahap-tahap dalam pembelajarannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukkan kelompok-kelompok siswa tersebut
dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Jumlah siswa
yang bekerja sama dalam masing-masing harus dibatasi, agar kelompok-kelompok
yang terbentuk untuk bekerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok
mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soedjadi(200, dalam
Isjoni :2009:55) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin
besar maka mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya.
Dalam jigsaw
ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu.
Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu
dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama.
Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap
masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai
materi tersebut.
Pada tahap
selanjutnya siswa diberi test atau kuis, hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian,
secara umum penyelenggaraan model belajar jigsaw dalam proses belajar-mengajar
dapat menumbuhkan tanggungjawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif
dalam memahami suatu persoalan dan menyelesaikannya secara kelompok.
3. Group
Investigation (GI)
Pada model
ini siswa dibagi kedalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. Kelompok dapat
dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan pada keterkaitan akan sebuah
materi tanpa melanggar ciri-ciri cooperative learning. Pada model ini siswa
memilih sub topik yang ingin mereka pelajari dan topik yang biasanya telah
ditentukan guru, selanjutnya siswa dan guru merencanakan tujuan,
langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik dan materi yang di pilih.
Kemudian siswa mulai belajar dengan berbagai sumber belajar baik di dalam atau
pun di luar sekolah, setelah proses pelaksanaan belajar selesai mereka
menganalisis, menyimpulkan dan membuat kesimpulan untuk mempresentasikan hasil
belajar mereka di depan kelas.
4. Rotating
Trio Exchange
Pada model
ini, kelas dibagi kedalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelas
ditata sehingga setiap kelompok dapat melihat kelompok lainnya di kiri dan di
kanannya, berikan pada setiap trio tersebut pertanyaan yang sama untuk
didiskusikan. Setelah selesai berilah nomor kepada setiap anggota trio
tersebut. Contohnya nomor 0,1 dan 2. Kemudian perintahkan nomor 1 berpindah
searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya, berlawanan jarum jam. Sedangkan nomor
0 tetap ditempat. Ini akan mengakibatkan timbulnya trio baru. Berikan pada
setiap trio baru tersebut pertanyaan-pertanyaan
baru untuk didiskusikan, tambahkanlah sedikit tingkat kesulitan.
Rotasikan kembali siswa seusai setiap pertanyaan yang telah disiapkan.
5. Group
Resume
Model ini
akan menjadikan interaksi antar siswa lebih baik, kelas dibagi kedalam
kelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3-6 orang siswa. Berikan
penekanan bahwa mereka adalah kelompok yang bagus, baik bakat ataupun
kemampuannya di kelas. Biarkan kelompok-kelompok tersebut membuat kesimpulan
yang didalamnya terdapat data-data latar belakang pendidikan, pengetahuan akan
isi kelas, pengalaman kerja, kedudukan yang di pegang sekarang, keterampilan,
hobby, bakat dan lain-lain. Kemudian setiap kelompok diminta untuk
mempresentasikan kesimpulan kelompok mereka.
F.
Peranan Guru dalam Cooperative Learning
Dalam pelaksanaan cooperative
learning dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam
mengelola lingkungan kelas. dalam pembelajaran ini guru harus mampu menciptakan
kelas sebagai laboratorium demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan
terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku
sekolah, agar peserta didik terbiasa berbeda pendapat, jujur, sportif dalam
mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih
baik, serta mampu mencari pemecahan masalah.
Peran guru dalam penyelesaian
cooperative learning adalah sebagai fasilitator, mediator, director-motivator,
dan evaluator. Sebagai fasilitator, seorang guru harus memiliki sikap-sikap
sebagai berikut :
a.
Mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan
menyenangkan
b.
Membantu dan mendorong siswa untuk mengungkapkan dan
menjelaskan keinginan dab pembicaraanya baik secara individual maupun kelompok
c.
Membantu menyediakan kegiatan-kegiatan dan menyediakan
sumber atau peralatan serta membantu kegiatan belajar mereka
d.
Membina siswa agar setiap orang merupakan sumber yang
bermanfaat bagi yang lainnya, dan
e.
Menjelaskan tujuan kegiatan pada kelompok dan mengatur
penyebaran dalam bertukar pendapat.
1. Pembentukkan
Kelompok
Pada saat pembentukkan
kelompok, guru membuat kelompok yang heterogen. Pembentukan kelompok dengan
memperhatikan kemampuan akademis. Alasan dibentuk kelompok heterogen adalah : pertama, memberi kesempatan untuk saling
mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung, kedua, dapat meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan
gender, ketiga, memudahkan pengelolaan kelas karena masing-masing kelompok
memiliki anak yang berkemampuan tinggi (special
hilper) yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu
permasalahan dalam kelompok (Jarolimek & Parker, 1993).
2.
Pemberian Semangat Kelompok
Agar kelompok
bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning maka
masing-masing kelompok perlu memiliki semangat kelompok. Pemberian kelompok ini
bisa dibina dengan melakukan beberapa kegiatan yang bisa mempererat hubungan
antara anggota kelompok, yaitu melalui kegiatan kesamaan kelompok, identitas
kelompok, maupun sapaan atau sorak kelompok.
Beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan guru terutama
dalam melaksanakan pembelajaran dikemukakan Stahl (1994), yaitu :
1)
Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran
2)
Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar
3)
Saling membutuhkan diantara sesama anggota
4)
Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran
5)
Tanggung jawab individu
6)
Heterogenitas kelompok
7)
Sikap dan perilaku sosial yang positif
8)
Depriefling (refleksi), dan
9)
Kepuasan dalam belajar
3.
Penataan Ruang Kelas
Untuk model
cooperative learning guru tidak hanya sebagai satu-satunya nara sumber, tetapi
siswa juga bisa belajar dari temannya dan guru berperan sebagai fasilitator,
motivator, mediator, dan evaluator. Sebagai konsekuensinya ruang kelas harus
ditata sedemikian rupa sehingga dapat menunjang terjadinya dialog dalam
cooperative learning.
Pengaturan
bangku mamainkan peranan penting dalam kegiatan belajar cooperative learning
sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Di
samping itu harus bisa melihat dan menjangkau rekan-rekan kelompoknya dengan
baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata.
G. Strategi Cooperative Learning
Tujuan penting dari cooperative learning
ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
Model cooperative learning membuka peluang bagi upaya mencapai tujuan
meningkatkan keterampilan sosial peserta didik.
Dalam kelompok ini mereka bekerja tidak
hanya sebagai kumpulan individual tetapi merupakan suatu tim kerja yang
tangguh. Seorang anggota kelompok bergantung pada anggota kelompok lainnya.
Seseorang yang memiliki keunggulan tertentu akan membagi keunggulannya dengan
yang lainnya.
H. Tes Eksperimen
Cooperative
Learning
Belajar cooperative memiliki potensi
untuk mengurangi kelas-kelas pasif ke dalam kelas dinamik dan orientasi
kelompok.
Teknik pengajaran yang mengharuskan siswa
untuk bekerjasama dalam kelompok yang telah ditetapkan untuk tugas yang
terstruktur. Ada 4 bagian umum dalam struktur belajar kooperatif (Johnson &
Johnson, 1987). Pertama, saling
ketergantungan yang positif, atau tanggapan siswa bahwa kerja sama antara
mereka harus ditampilkan. Kedua, interaksi
langsung antara siswa yang melibatkan pertukaran verbal seperti berbicara
dengan suara lantang harus terjadi, menarik tanggapan dari siswa lain , dan
lebih berfokus pada proses penyelesaian masalah daripada menjawab pertanyaan.
Ketiga, harus ada pertanggungjawaban dari setiap individu, dimana
setiap anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari semua materi yang
mereka berikan. Terakhir, membangun
struktur pada diri sendiri dan membangun keterampilan dalam kelompok kecil.