Jumat, 08 Maret 2013

Cooperative learning


COOPERATIVE LEARNING

A.   Pengertian Cooperative Learning
            Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu team. Istilah cooperative learning dalam pengertian B.Indonesia dikenal dengan pembelajaran kooperativeoxford dictionary (1992) mendefinisikan bahwa cooperative sebagai “ bersedia untuk membantu”. Cooperative juga berarti bekerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
            Cooperative learning adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan  faham konstruktivis. Cooperative learning juga merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda (Isjoni : 2009 : 12).
            Menurut Yatim Riyanto ( 2010 : 267 ) cooperative learning adalah model pembelajaran yang di rancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal skill. Sedangkan Eveline Siregar dan Hartini Nara (2011 : 114) cooperative learning merupakan salah satu strategi yang dianjurkan sebagai cara siswa untuk saling berbagi pendapat, berargumentasi dan mengembangkan berbagai alternative pandangan dalam upaya kontruksi pengetahuan.
            Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang pada saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain.
            Slavin (dalam Isjoni 2009) menyebutkan bahwa cooperative learning merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama yang mana pada saat itu guru mendorong siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran dengan teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka.
            Pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih, berfikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang pendekatan ini akan berjalan baik di kelas yang kemampuannya merata, namun sebenarnya di kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pembelajaran cooperative ini. Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi. Demikian juga siswa yang lebih akan terasah kefahamannya.
            Cooperative learning bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan cooperative ini adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi yakni hanya sebagian siswa yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya tenggelam dalam ketidaktahuannya. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila para murid menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami perbaikan.
            Dengan mempraktekkan cooperative learning di ruang-ruang kelas, suatu hal kelak kita akan menuai buah persahabatan dan perdamaian. Karena cooperative learning memandang siswa sebagi makhluk sosial (homo hominisocius) bukan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Dengan kata lain cooperative learning adalah cara belajar mengajar berbasiskan peace education (metode belajar mengajar masa depan) yang pasti mendapat perhatian.
            Djahiri K. (dalam Isjoni : 2009 : 19) menyebutkan cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok cooperative yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentis, humanistik dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran cooperative mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik di kelas maupun di sekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan hidup senyatanya.
            Beberapa ciri dari cooperative learning adalah :
a)     Setiap anggota memiliki peran
b)      Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa
c)      Setiap kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman kelompoknya.
d)     Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan
e)      Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Menurut Yatim Riyanto (2010 : 226) ciri-ciri cooperative learning adalah :
a)       Kelompok dibentuk dengan siswa kemampuan tinggi, rendah, sedang
b)        Siswa dalam kelompok sehidup semati
c)        Siswa melihat semua anggota melihat tujuan yang sama
d)       Membagi tugas dan tanggungjawab sama
e)        Akan dievaluasi untuk semua
f)        Berbagi kepemimpinan dan keterampilan untuk bekerja sama
g)       Diminta untuk mempertanggungjawabkan individual materi yang ditangani.
Pelaksanaan cooperative learning membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar scara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.

B.   Tujuan Cooperative Learning
Pelaksanaan model cooperative learning membutuhkan partisipasi dan kerja sama dalam kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Dengan melaksanakan model pembelajaran cooperative learning, siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berfikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill), seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (stahl, 1994).
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran, namun bisa juga sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Pada dasarnya model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum Ibrahim, (2000) dalam Isjoni (2009 : 27), yaitu :


1.      Hasil Belajar Akademik
Dalam cooperative learning meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan cooperative telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Disamping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, cooperative learning dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.      Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Pembelajaran cooperative memberikan peluang kepada siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperative akan saling menghargai satu sama lain.
3.      Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan kepada sisa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini masih banyak anak muda kurang dalam keterampilan sosial.

C.   Teori Cooperative Learning
Sebagai model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif, cooperative learning mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis. Davidson dan Warshan (2003) mengemukakan, cooperative learning adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok-kelompok kecil. Siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Karena itu, cooperative learning didasarkan kepada teori-teori kognitif, perlakuan dan persandaran sosial.
Terdapat berbagai teori dalam kita mempelajari cooperative learning. Tiga diantaranya sebagaimana disbutkan berikut.
1.      Teori Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (1996) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, komsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Misalnya dalam hal pembelajaran sejarah, bukan hanya sekedar menekankan kepada pengertian konsep-konsep sejarah belaka, tetapi bagaimana melaksanakan proses pembelajarannya, dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran tersebut sehingga pembelajaran tersebut menjadi benar-benar bermakna. Dengan demikian, cooperative learning akan dapat mengusir rasa jenuh dn bosan.
2.      Teori Piaget
Menurut Piaget (dalam Isjoni:2009:36), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut :
a.      Sensoni motor (0-2 tahun)
b.       Pra operasional (2-7 tahun)
c.       Operasional konkret (7-11 tahun)
d.      Operasional formal (11 tahun ke atas)
Bila merujuk pada teori piaget, maka pelajar yang berada pada jenjang SMP (usia berkisar antara 12-14/15 tahun), termasuk dalam kategori tingkat operasional formal. Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini adalah ia tidak perlu berpikir abstrak (Dahar, 1996), karena itu cooperative learning dapat dilaksanakan di jenjang SMP.
3.      Teori Vygotsky
Vygotsky (1997) mengemukakan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia membedakan adanya dua pengertian yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dan pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari ruangan kelas, atau yang diperoleh dan pelajaran di sekolah. Selanjutnya Suparno (1997) mengatakan kedua konsep itu saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.
Sumbangan dari teori Vygotsky adalah penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran. Menurutnya pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada saat ini.
Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan pelajar tumbuh mandiri.

D.   Karakteristik Cooperative Learning
Bennet (1995) menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan cooperative learning dengan kerja kelompok, yaitu :
1.      Positive Interdependence
Hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya. Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang struktur dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap siswa untuk belajar, mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami bahan pelajaran.
2.      Interaction face to face
Interaksi yang langsung terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang  bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya saling hubungan timbal balik yang bersifat positif sehingga dapat mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran.
3.      Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok
Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompoknya menjadi lebih kuat pribadinya.
4.     Membutuhkan keluwesan
Menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif.
5.      Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses kelompok)
Tujuan terpenting yang diharapkan adalah siswa belajar keterampilan bekerja sama dan berhubungan ini adalah keterampilan yang penting dan sangat diperlukan di masyarakat. Para siswa mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kerjasama yang telah dilakukan.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa cooperative learning merupakan strategi yang menempatkan siswa belajar anggota kelompok yang beranggotakan 4-6 siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda.
Dengan berkelompok siswa mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mempraktekkan sikap dan perilaku berpartisipasi pada situasi sosial yang bermakna bagi mereka.
Dalam cooperative learning tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperative.keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut (Lungdren, 1994, dalam Isjoni :2009 : 46) :
1.      Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
a)     Menggunakan kesepakatan
b)      Menghargai kontribusi
c)      Mengambil giliran dan berbagi tugas
d)     Berada dalam kelompok
e)      Berada dalam tugas
f)      Mendorong partisipasi
g)     Mengundang orang lain
h)     Menyelesaikan tugas dalam waktunya
i)       Menghormati perbedaan individu
2.      Keterampilan Tingkat Menengah
     Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
3.      Keterampilan Tingkat Mahir
     Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan dan berkompromi.

E.   Model-Model Cooperative Learning
1.        Student Team Achievement Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adnya aktifitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yaitu :
a.         Tahap penyajian materi
                        Yang mana guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai pada hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari.                       
b.    Tahap kegiatan kelompok
                        Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
c.       Tahap tes individual
          Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes secara individual, mengenai materi yang telah dibahas.
d.      Tahap penghitungan skor pengembangan individu
          Tes ini dihitung berdasarkan skor awal, dalam penelitian ini didasarkan pada nilai evaluasi hasil belajar semester I.
e.       Tahap pemberian penghargaan kelompok
          (Slavin, 1995) perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing perkembangan skor individu dan hasilnya dibagi sesuai jumlah anggota kelompok.
2.   Jigsaw
       Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam pembelajarannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukkan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
       Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk untuk bekerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soedjadi(200, dalam Isjoni :2009:55) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar maka mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya.
       Dalam jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.
       Pada tahap selanjutnya siswa diberi test atau kuis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian, secara umum penyelenggaraan model belajar jigsaw dalam proses belajar-mengajar dapat menumbuhkan tanggungjawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam memahami suatu persoalan dan menyelesaikannya secara kelompok.
3.   Group Investigation (GI)
       Pada model ini siswa dibagi kedalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. Kelompok dapat dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan pada keterkaitan akan sebuah materi tanpa melanggar ciri-ciri cooperative learning. Pada model ini siswa memilih sub topik yang ingin mereka pelajari dan topik yang biasanya telah ditentukan guru, selanjutnya siswa dan guru merencanakan tujuan, langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik dan materi yang di pilih. Kemudian siswa mulai belajar dengan berbagai sumber belajar baik di dalam atau pun di luar sekolah, setelah proses pelaksanaan belajar selesai mereka menganalisis, menyimpulkan dan membuat kesimpulan untuk mempresentasikan hasil belajar mereka di depan kelas.
4.     Rotating Trio Exchange
       Pada model ini, kelas dibagi kedalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelas ditata sehingga setiap kelompok dapat melihat kelompok lainnya di kiri dan di kanannya, berikan pada setiap trio tersebut pertanyaan yang sama untuk didiskusikan. Setelah selesai berilah nomor kepada setiap anggota trio tersebut. Contohnya nomor 0,1 dan 2. Kemudian perintahkan nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya, berlawanan jarum jam. Sedangkan nomor 0 tetap ditempat. Ini akan mengakibatkan timbulnya trio baru. Berikan pada setiap trio baru tersebut pertanyaan-pertanyaan  baru untuk didiskusikan, tambahkanlah sedikit tingkat kesulitan. Rotasikan kembali siswa seusai setiap pertanyaan yang telah disiapkan.
5.      Group Resume
       Model ini akan menjadikan interaksi antar siswa lebih baik, kelas dibagi kedalam kelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3-6 orang siswa. Berikan penekanan bahwa mereka adalah kelompok yang bagus, baik bakat ataupun kemampuannya di kelas. Biarkan kelompok-kelompok tersebut membuat kesimpulan yang didalamnya terdapat data-data latar belakang pendidikan, pengetahuan akan isi kelas, pengalaman kerja, kedudukan yang di pegang sekarang, keterampilan, hobby, bakat dan lain-lain. Kemudian setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan kesimpulan kelompok mereka.

F.   Peranan Guru dalam Cooperative Learning
                 Dalam pelaksanaan cooperative learning dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreatifitas guru dalam mengelola lingkungan kelas. dalam pembelajaran ini guru harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratorium demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku sekolah, agar peserta didik terbiasa berbeda pendapat, jujur, sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik, serta mampu mencari pemecahan masalah.
                 Peran guru dalam penyelesaian cooperative learning adalah sebagai fasilitator, mediator, director-motivator, dan evaluator. Sebagai fasilitator, seorang guru harus memiliki sikap-sikap sebagai berikut :
a.      Mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan
b.       Membantu dan mendorong siswa untuk mengungkapkan dan menjelaskan keinginan dab pembicaraanya baik secara individual maupun kelompok
c.       Membantu menyediakan kegiatan-kegiatan dan menyediakan sumber atau peralatan serta membantu kegiatan belajar mereka
d.      Membina siswa agar setiap orang merupakan sumber yang bermanfaat bagi yang lainnya, dan
e.       Menjelaskan tujuan kegiatan pada kelompok dan mengatur penyebaran dalam bertukar pendapat.
1.    Pembentukkan Kelompok
Pada saat pembentukkan kelompok, guru membuat kelompok yang heterogen. Pembentukan kelompok dengan memperhatikan kemampuan akademis. Alasan dibentuk kelompok heterogen adalah : pertama, memberi kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung, kedua, dapat meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan gender, ketiga, memudahkan pengelolaan kelas karena masing-masing kelompok memiliki anak yang berkemampuan tinggi (special hilper) yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu permasalahan dalam kelompok (Jarolimek & Parker, 1993).
2.        Pemberian Semangat Kelompok
     Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran cooperative learning maka masing-masing kelompok perlu memiliki semangat kelompok. Pemberian kelompok ini bisa dibina dengan melakukan beberapa kegiatan yang bisa mempererat hubungan antara anggota kelompok, yaitu melalui kegiatan kesamaan kelompok, identitas kelompok, maupun sapaan atau sorak kelompok.
     Beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan guru terutama dalam melaksanakan pembelajaran dikemukakan Stahl (1994), yaitu :
1)     Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran
2)     Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar
3)     Saling membutuhkan diantara sesama anggota
4)    Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran
5)     Tanggung jawab individu
6)    Heterogenitas kelompok
7)    Sikap dan perilaku sosial yang positif
8)     Depriefling (refleksi), dan
9)     Kepuasan dalam belajar
3.        Penataan Ruang Kelas
     Untuk model cooperative learning guru tidak hanya sebagai satu-satunya nara sumber, tetapi siswa juga bisa belajar dari temannya dan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan evaluator. Sebagai konsekuensinya ruang kelas harus ditata sedemikian rupa sehingga dapat menunjang terjadinya dialog dalam cooperative learning.
     Pengaturan bangku mamainkan peranan penting dalam kegiatan belajar cooperative learning sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Di samping itu harus bisa melihat dan menjangkau rekan-rekan kelompoknya dengan baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata.

G.  Strategi Cooperative Learning
       Tujuan penting dari cooperative learning ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Model cooperative learning membuka peluang bagi upaya mencapai tujuan meningkatkan keterampilan sosial peserta didik.
       Dalam kelompok ini mereka bekerja tidak hanya sebagai kumpulan individual tetapi merupakan suatu tim kerja yang tangguh. Seorang anggota kelompok bergantung pada anggota kelompok lainnya. Seseorang yang memiliki keunggulan tertentu akan membagi keunggulannya dengan yang lainnya.

H.  Tes Eksperimen Cooperative Learning
       Belajar cooperative memiliki potensi untuk mengurangi kelas-kelas pasif ke dalam kelas dinamik dan orientasi kelompok.
       Teknik pengajaran yang mengharuskan siswa untuk bekerjasama dalam kelompok yang telah ditetapkan untuk tugas yang terstruktur. Ada 4 bagian umum dalam struktur belajar kooperatif (Johnson & Johnson, 1987). Pertama, saling ketergantungan yang positif, atau tanggapan siswa bahwa kerja sama antara mereka harus ditampilkan. Kedua, interaksi langsung antara siswa yang melibatkan pertukaran verbal seperti berbicara dengan suara lantang harus terjadi, menarik tanggapan dari siswa lain , dan lebih berfokus pada proses penyelesaian masalah daripada menjawab pertanyaan.
       Ketiga, harus ada pertanggungjawaban dari setiap individu, dimana setiap anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari semua materi yang mereka berikan. Terakhir, membangun struktur pada diri sendiri dan membangun keterampilan dalam kelompok kecil.

0 komentar:

Posting Komentar

 

cuwap-ciyak's Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template